Welcome to My Island

Welcome to My Bibliotheca

Senin, 11 Juli 2016

GIFTED GIRL [PART 2]



Sudah dua hari Lana tidak sekolah. Ia sudah menyerah akan keinginannya. Lana memutuskan ingin home schooling lagi.
Ia teringat percakapannya dengan ibunya kemarin.
"Kenapa Sayang?" Tanya Siska
"Ana udah ga sanggup ma, mereka semua udah keterlaluan. Ana capek" Lana menangis segukan.
"Nanti mama ngomong sama papa. Sekarang ana istirahat aja ya".
Lana membuka tv dan melihat berita.
"Ditemukan mayat seorang pemuda tewas di gudang belakang SMA Xavier Jakarta Selatan. Diduga pemuda tersebut dibunuh menggunakan senjata tajam. Pemuda berusia 16 tahun ini berinisial R. Menurut kepolisian setempat, belum diketahui penyebab pemuda ini meninggal..."
 
Lana terdiam. Ia menjatuhkan remot tv nya.
Mendengar suara benda jatuh, ibunya segera melihat keadaan anaknya.
"Ana, ada apa?"
"Ma... Temanku ma. Yang kemarin aku cerita. Dia..."
Siska langsung melihat berita dan terkejut. Kemudian ia mengambil remot tv dan mematikan tv nya.
Lana menangis.
"Sstt.. Sudah sayang. Kau tidak perlu takut, ini bukan salahmu. Tenangkan dirimu ya". Siska berusaha menenangkan Lana. Ia ingin sekali memeluk Lana tapi tidak bisa.
Tak lama Lana pingsan. Menyadari itu, siska langsung berteriak memanggil pembantunya.
"Bii... Bi ana bi. Tolong bantuin saya angkat ana ke kamar".
"Baik nyonya".
Siska mengambil alat kedokterannya dan mengecek keadaan anaknya. Anaknya mengalami shock berat. 

*

Di sekolah, Rio dan Denny juga mengalami hari yang berat. Mereka sebagai teman dekat Rico beberapa kali menemui polisi untuk dimintai keterangan tentang Rico.
Selesai menemui polisi, mereka duduk di kantin.
"Lo liat kan. Lana ga pernah boong".
"Mungkin ga kalau Lana yang bunuh Rico buat membuktikan omongannya? Secara dia udah dipermaluin sama Rico" ucap Rio.
"Gila lo io! Gue kira Lana bukan orang yang begitu. Lagian lo sendiri bilang, dia udah dua hari ini ga masuk. "
"Kita harus cari tahu sendiri den. Ada yang tahu rumah Lana dimana?"
"Lo cari tahu sendiri, gue ga mau ikut ke rumah dia. Lo tau kan alasannya. Buat alamat lo boleh tanya ke kesiswaan"

*

Setelah memohon mohon dengan penjaga kesiswaan, Rio mendapat alamat Lana.
Sepulang sekolah ia bergegas ke rumah Lana. 

*

Rio mencari rumah Lana sesuai alamat yang ia dapat.
Sampai depan rumah Lana ia disambut oleh pembantu Lana.
"Maaf cari siapa ya den?"
"Saya teman Sekolah Lana bu, saya mau cari Lana" ucap Rio.
"Maaf den, tidak ada yang namanya Lana disini"
Rio berpikir sebentar lalu ia teringat nama lengkap Lana yang tadi ia dapat.
"Kalau Deylana ada?"
Pembantu Lana merasa ragu. Kemudian Siska keluar.
"Kamu siapa?" tanya Siska dengan dingin.
"Saya teman sekolahnya tante" jawab Rio dengan sopan.
"Ana tidak punya temannya disekolah. Jadi kamu jangan bohong?" Siska menatap Rio dengan sinis.
Rio terdiam. Apa yang dikatakan Siska memang benar.
"Siapa ma?" Lana baru saja keluar dari kamar dan mendengar suara mamanya memarahi seseorang.
"Bukan siap..."
"Rio, Lana" Rio berteriak memotong perkataan ibu Lana agar Lana tahu dia datang.
Lana bingung untuk apa Rio datang. Menuduh masalah Rico kah?
"Ada perlu apa?" Tanya Lana dingin.
"Eh... Gue mau tanya sesuatu". Jawab Rio kikuk.
"Kalo lo mau tanya soal temen lo, gue udah kasih keterangan jelas sama polisi lewat telepon. Nyokap gue juga udah jelasin tentang alibi gue"
Rio meringis, merasa bersalah. Tadi ia menuduh Lana.
"Gue percaya sama lo Lan" Rio mengucapkan dengan percaya diri, walau dalam hatinya ia belum sepenuhnya percaya. Tapi ia penasaran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya.
"Ga usah bohong deh lo" Lana menatapnya nanar.
"Gue percaya. Serius. Gue justru mau minta bantuan lo. Boleh gue ngomong berdua ama lo?" Rio merasa terintimidasi dengan aura ibu Lana yang sedari tadi menatapnya dengan tajam.
Lana menoleh pada ibunya dan memberikan satu kali anggukan. Tapi siska masih tidak bergerak. Akhirnya Lana berbicara pada ibunya "gapapa ma. Lana baik-baik aja"
Ibuna menghembuskan napas pasrah. "10 menit waktu yang kamu punya. Manfaatkan dengan baik, kalau dalam 10 menit ana tidak kembali, kamu yang akan aku cari".
Siska dan pembantunya meninggalkan mereka, sedangkan Lana mengajak Rio untuk berbicara di taman.
"Apa mau lo?" Tanya Lana to the point.
"Gue tanya lo, sewaktu lo ngeliat apa yang lo liat itu, apa lo liat siapa pembunuhnya?"
Tanya rio dengan raut muka serius.
"Engga".
"Serius lan. Coba lo inget-inget lagi". Seumur-umur Rio belum perna memohon seperti ini.
"Gue ga mau inget. Lo ga tau rasanya inget hal-hal begitu" bentak Lana.
Rio merasa frustasi. Siapa lagi yang bisa membantu memecahkan masalahnya?
Bahkan polisi saja tidak bisa memecahkannya. Polisi menganggap bahwa ini kasus bunuh diri sehingga tidak perlu ditindak lanjuti. Rio tahu kalau Rico tidak mungkin bunuh diri, ditambah kata-kata Lana tempo hari.
"Gue mohon sama lo Lana, gue ga pernah memohon sebelumnya, dan kali ini untuk pertama kalinya gue mohon sama lo"
"Apa untungnya bagi gue?"
Rio tersenyum sinis, "Gue pikir lo orang baik, ternyata lo tetep pamrih ya"
"Lo pikir gue bakal berbuat baik setelah apa yang dia lakuin sama gue dikantin waktu itu? Gue ga bodoh".
Tiba-tiba Lana mendapat ide.
"Gue ga tau siapa pembunuhnya, tapi gue ada liat ciri-cirinya sekilas. Dia punya tato. Cuma itu yang gue inget".
Rio menaikkan alisnya sebelah. "Balasannya?"
Lana tersenyum menatap Rio.
"Gue ga butuh senyum lo Lan, senyum lo tu nyeremin tau ga" Rio memalingkan mukanya. Tiba-tiba ia merasa malu melihat senyum Lana. Lana cantik. Tapi karena 'kemampuannya' ia jadi menyeramkan.
"Gue punya satu syarat. Selama pembunuhnya belum ketemu, lo harus ikutin permintaan gue"
"What??? Lo mau gue jadi babu lo?"
Rio berteriak marah.
"Bukan. Bukan babu. Gue mau sekali aja ngerasain jadi cewek normal dan gue tahu lo bisa bantuin gue buat ngewujudin itu"
Rio jadi teringat kejadian waktu itu. "Maksud lo?"
"Gue ga ngerasa apapun saat nyentuh lo, gue ga tahu kenapa. Jadi gue mau lo nemenin gue ke tempat-tempat yang selama ini gue ga bisa datengin".
"Apa itu cuma gue?"
Lana mengangguk.
"Tapi kan walopun ada gue, lo tetep sentuhan sama orang lain"
"Gue ga tahu, tapi gue yakin saat gue pegang lo gini" Lana menarik tangan Rio dan menggenggamnya, kemudian melanjutkan "gue ga akan liat apapun walopun gue sentuhan sama orang lain. "
Rio langsung menarik tangannya. "Lo yakin ga liat apa-apa tentang gue?" Rio menatapnya takut.
Lana mengangguk lagi.
"Kenapa? Apa yang salah sama gue?"
Lana menggeleng. "Lo mau bukti?"
Lana menarik Rio mencari 'sample'. Kemudian ia menemukan abang bakso didekat sana.
Dalam keadaan bergandengan, Lana menepuk bahu abang bakso itu. Abang bakso itu menoleh "ada apa neng? Mau bakso?"
"Engga bang, aku kira abang tadi temen dia, dia lagi cari temennya yang ilang bang. Mirip abang gini orangnya". Lana menyeringai.
Rio melotot ke Lana. Lalu menarik Lana menjauh dari abang bakso tadi. Setelah dirasa jauh, Rio melepas pegangan tangan mereka.
"Lo apa-apaan sih ngomong gitu. Buat malu aja tau ga?"
Lana hanya tersenyum. Ia senang sekali ternyata teorinya benar. Ia tidak sabar ingin merasakan apa yang selama ini tidak bisa ia rasakan.
"Jadi gimana? Gue udah buktiin tadi. Gue ga liat apapun. Penawaran gue?"
Rio berpikir sebentar. "Cuma nemenin lo doang kan?"
Lana mengangguk.
"Deal"
"Deal"
Mereka berjabat tangan.
Rio tidak tahu ini keputusan yang benar atau salah, tapi satu hal yang ia tahu, ia harus mencari tahu pembunuh temannya dan apa motifnya.
Masalah menemai? Toh ia single

*

Mereka berdua memutuskan untuk berdiskusi di ruang tamu rumah Lana karena Rio harus memulangkan Lana mengingat janjinya pada ibu Lana tadi.
"So, apa yang lo liat?" Rio membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Sebentar".
Lana mengambil selembar kertas dan sebuah pena lalu menggambar sesuatu.
15 menit sudah berlalu, namun Lana belum selesai menggambar.
Rio yang sedari tadi hanya diam saja, merasa bosan. "Sudah belom? Lama amat sih"
"Udah". Lana memberikan hasil gambarannya pada Rio.
Rio terkagum sesaat melihat hasil gambaran Lana, namun ia teringat tujuannya.
"Jadi ini bentuh tato nya?"
"Ya"
"Letaknya?"
"Di punggung tangan kanan, tangan yang ia gunakan untuk membunuh. "
"Gue bakal serahin ini ke Polisi"
"Polisi ga bakal percaya sama cerita lo Rio. Coba gue tanya, gimana caranya lo jelasin tentang gambar ini?"
Rio terdiam. Benar yang dikatakan Lana, tidak mungkin ia bilang bahwa ini gambar hasil pemikiran Lana. Yang ada polisi malah mengira ia dan Lana orang gila. Cukup Lana saja yang dianggap seperti itu, ia tidak mau ikut-ikutan. 

*

Setibanya di rumah, Rio memikirkan kembali kejadian yang baru-baru ini terjadi. Rio berpikir, kenapa gue percaya pada kata-kata dia? Bukannya selama ini gue ga percaya yang begituan?
Rio berpikir otaknya sudah sama kacaunya dengan Lana. Tapi kalau memang Lana bisa membantu menyelesaikan masalah ini, kenapa tidak?
Rio bertekad membawa hasil gambar Lana pada detektif keluarganya. 

*

Keesokan harinya, Lana memutuskan untuk masuk sekolah.
Ia mengambil kembali keberanian yang dulu pernah ia rasakan.
Sesampainya di sekolah, seluruh murid menatapnya dengan tatapan tajam.
Lana berusaha untuk tidak peduli, ia tetap berjalan menuju kelasnya.
Sepanjang perjalanan, ia mendengar semua orang berbisik-bisik bahwa ia adalah seorang pembunuh.
Baru saja ia duduk di bangku nya, seorang wanita datang menghampiri dan memukul mejanya.
"Lo cewek sialan! Lo itu pembunuh ga pantes buat sekolah disini"
Lana menatapnya heran dan menjawab "apa buktinya?"
"Lo sengaja kan ngomong gitu ke cowok gue dan gara-gara omongan lo, dia jadi stress dan bunuh diri!"
"Gue rasa Rico bukan cowok bego yang bisa stress cuma karna omongan gue"
"Gue ingetin ya sama lo, selama lo sekolah disini, gue.. Fina ga akan pernah biarin lo idup tenang!"
Kemudian Fina pergi meninggalkan kelas Lana. Rio yang sedari tadi berdiri di pintu kelas melihat semua kejadian itu hanya bisa diam saja, ia tidak ingin ikut campur lebih lanjut. 

*

Sepulang sekolah Lana dan Rio menemui detektif keluarga Rio. Mereka bertemu di salah satu cafe dekat sekolah. Detektif itu bernama Petrus.
"Lana, kenalin ini pak petrus. Detektif keluarga gue"
Pak petrus mengangkat tangannya untuk mengajak Lana bersalaman, akan tetapi Lana hanya menunduk saja.
"Saya Deylana, bapak bisa panggil Lana aja".
Melihat hal tersebut, Rio terpaksa menyentuh bahu Lana. Lana tersentak kemudian mengerti kode yang diberikan Rio lalu menyambut tangan Pak petrus tadi.
"Jadi, saya sudah menerima contoh gambar tato ini, kalau boleh tau, dari mana ini berasal?" Pak petrus memulai pembicaraannya.
"Kalau saya ceritakan asalnya mungkin bapak akan terkejut dan tidak percaya, jadi saya minta bapak untuk mengecek terlebih dahulu apakah tato ini bisa dijadikan petunjuk. Setelah itu baru akan saya jelaskan dari mana asalnya" jawab Rio dengan sopan.
"Saya sudah mengecek hasilnya. Tato ini milik Geng motor Scorpion. Geng motor terkenal di Jakarta. Anggota mereka sudah banyak keluar masuk penjara. Tapi untuk pimpinannya polisi belum menemukan celah untuk menangkap" jelas Pak Petrus.
"Coba bapak cek apakah salah satu anggota mereka ada yang memiliki luka bakar di pipi kanannya" celetuk Lana.
Rio dan Pak Petrus memandanginya dengan heran.
"Tolong bapak cek lebih jauh apa hubungan geng ini dengan Rico dan dengan siapa dia berhubungan sesuai ciri- ciri ini. Rico memang anak motor, tapi setahu saya mereka tidak pernah terlibat satu sama lain" ujar Rio.
"Baiklah. Akan aku coba cari tahu. Tapi kalau boleh tahu, dari mana mbak bisa tahu luka bakar itu?" Pak Petrus bertanya dengan curiga.
"Akan kami jelaskan bersama dengan asal gambar ini. Bapak tidak perlu khawatir, cukup cari tahu saja". Tegas Rio.
"Baik. Bila sudah kudapatkan akan aku kabari"
Lalu pak petrus pamit pergi meninggalkan Lana dan Rio berdua.
"Kapan lo inget soal luka bakar itu?" Tanya Rio penasaran.
"Gue inget waktu gue dilabrak sama pacarnya Rico, Fina"
"Harusnya lo inget lebih awal. Ada lagi kira-kira yang lo belom inget?"
"Ga ada. Itu doang. Gue mau nagih syarat gue"
Rio menaikkan alisnya sebelah "apa?"
"Gue mau nagih syarat gue" ulang Lana.
"Iya gue tahu, lo mau apa?" Rio memutar bola matanya.
"Gue mau ke dufan!" Pekik Lana kegirangan.
"Ssttt... Lo jangan bikin malu. Ga ada orang segede lo ke dufan seneng banget" bisik Rio.
"Ups..sorry. Gue kelepasan. Abisnya gue seneng banget. Lo tau karna 'kemampuan' gue ini, gue ga bisa kemana-mana" Lana menatap minumannya dengan sendu.
"Kapan?"
"Besok" Lana tersenyum memamerkan sederet giginya.
"Oke. Besok sabtu gue jemput. Lo siap jam 10 pagi"
"Oke bos". 

*

Jam 10 pagi Rio benar-benar datang. Lana sempat berpikir Rio tidak akan datang mengingat sebelumnya Rio sempat takut padanya.
Lana memakai celana pendek dan kaus biasa. Rambutnya ia kuncir keatas.
Rio tidak pernah melihat Lana berpakaian selain seragam sekolah, ia sempat terdiam sesaat.
"Ayo! Gue udah ga sabar nih".
"Ana, kamu yakin nak?" Ibunya menatap Lana khawatir dan melihat Rio dengan ekspresi meneliti.
"Yakin ma, Lana gapapa. Ini ada Rio kok".
"Iya tante, aku bakal jagain Lana"
Siska hanya bisa pasrah. "Yasudah. Kamu harus membawa ana pulang dalam keadaan utuh, ngerti?" Ucap siska pada Rio.
"Iya tante". 

*

"Huaaaa... Dufan!!" Lana mengangkat kedua tangannya keatas.
Rio hanya bisa menggelengkan kepalanya. Nih anak emang ga pernah keluar ya. Ga nyangka begini banget tingkahnya.
"Yok kita main semuanya!" Ucap Lana dengan semangat. Kemudian menarik tangan Rio.
"Semuanya? Lo yakin?"
"Yakin. Kenapa? Lo takut?" Tantang Lana.
"Enggak! Hayo".
Mereka berdua menaiki wahana-wahana yang ada satu persatu. Bagi Lana perasaan ini tidak akan didapatnya lagi, jadi ia akan memanfaatkan sebaik mungkin. Ia bahkan berlari kesana kemari.
Rio tertawa melihat semangat Lana seperti anak kecil yang baru pertama kali diajak ke dufan, ia bahkan pasrah saja ketika Lana menariknya kesana kemari.
Saat sore tiba, mereka menaiki wahana terakhir, bianglala.
"Gue udah lama pengen banget naik ini. Akan lebih baik lagi kalau gue bisa dateng bareng pasangan gue." Ucap Lana dengan sendu ketika mereka sudah di dalam bianglala sambil menatap pemandangan sore.
Melihat hal itu, Rio hanya bisa menatap Lana dengan iba. Rio menatap lama wajah Lana, menurut Rio, Lana adalah seorang gadis yang cantik, bahkan tanpa perlu polesan diwajahnya dan baju yang biasa saja, dia tetap terlihat cantik, terutama matanya. Beberapa kali Rio terpesona dengan cara menatap Lana.
Gue pikir lo ga seburuk yang gue kira Lan.
Merasa diperhatikan, Lana menoleh. "Udah deh. Ga usah natap gue kasian gitu. Gue udah biasa kok. Lebih tepatnya pasrah".
"Gue ga kasian sama lo".
"Trus apa maksudnya pandangan lo itu?"
"Lo itu cantik kok. Suatu saat pasti ada yang bisa nerima 'bakat' lo itu". Ucap Rio tulus.
"Oh jadi sekarang nyebutnya udah bakat bukan lagi kutukan nih" goda Lana.
Rio hanya tersenyum. Melihat senyuman Rio, Lana ikut tersenyum.
"Lo juga baek kok. " ucap Lana membalas pujian Rio tadi.
"Gue emang baek dan selalu baek".
"Yah baru dipuji dah terbang dia" Lana menggerutu sambil kembali menikmati pemandangan sore dari bianglala.
Setelah selesai, Lana turun dengan perasaan senang. Tapi ia belum mau pulang.
Rio tahu maksud dari ekspresi Lana, maka dari itu ia ingin mengajak Lana ke suatu tempat. Entah setan apa yang merasuki Rio hingga ia jadi ingin membuat Lana senang.
"Gue ada yang lebih menarik dari ini. Gue ajak lo kesana. Mumpung masih sore"
"Eh?" Lana menatap Rio bingung.
Rio menarik Lana untuk keluar dari dufan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar