Sudah dua hari Lana tidak sekolah. Ia sudah
menyerah akan keinginannya. Lana memutuskan ingin home schooling lagi.
Ia teringat percakapannya dengan ibunya kemarin.
Ia teringat percakapannya dengan ibunya kemarin.
"Kenapa Sayang?" Tanya Siska
"Ana udah ga sanggup ma, mereka semua udah
keterlaluan. Ana capek" Lana menangis segukan.
"Nanti mama ngomong sama papa. Sekarang ana
istirahat aja ya".
Lana membuka tv dan melihat berita.
"Ditemukan mayat seorang pemuda tewas di
gudang belakang SMA Xavier Jakarta Selatan. Diduga pemuda tersebut dibunuh
menggunakan senjata tajam. Pemuda berusia 16 tahun ini berinisial R. Menurut
kepolisian setempat, belum diketahui penyebab pemuda ini meninggal..."
Lana terdiam. Ia menjatuhkan remot tv nya.
Mendengar suara benda jatuh, ibunya segera melihat keadaan anaknya.
Mendengar suara benda jatuh, ibunya segera melihat keadaan anaknya.
"Ana, ada apa?"
"Ma... Temanku ma. Yang kemarin aku cerita.
Dia..."
Siska langsung melihat berita dan terkejut.
Kemudian ia mengambil remot tv dan mematikan tv nya.
Lana menangis.
"Sstt.. Sudah sayang. Kau tidak perlu takut,
ini bukan salahmu. Tenangkan dirimu ya". Siska berusaha menenangkan Lana.
Ia ingin sekali memeluk Lana tapi tidak bisa.
Tak lama Lana pingsan. Menyadari itu, siska
langsung berteriak memanggil pembantunya.
"Bii... Bi ana bi. Tolong bantuin saya angkat
ana ke kamar".
"Baik nyonya".
Siska mengambil alat kedokterannya dan mengecek
keadaan anaknya. Anaknya mengalami shock berat.
*
Di sekolah, Rio
dan Denny juga mengalami hari yang berat. Mereka sebagai teman dekat Rico
beberapa kali menemui polisi untuk dimintai keterangan tentang Rico.
Selesai menemui polisi, mereka duduk di kantin.
"Lo liat kan. Lana ga pernah boong".
"Mungkin ga kalau Lana yang bunuh Rico buat
membuktikan omongannya? Secara dia udah dipermaluin sama Rico" ucap Rio.
"Gila lo io! Gue kira Lana bukan orang yang
begitu. Lagian lo sendiri bilang, dia udah dua hari ini ga masuk. "
"Kita harus cari tahu sendiri den. Ada yang tahu rumah Lana
dimana?"
"Lo cari tahu sendiri, gue ga mau ikut ke
rumah dia. Lo tau kan
alasannya. Buat alamat lo boleh tanya ke kesiswaan"
*
Setelah memohon mohon dengan penjaga kesiswaan, Rio mendapat alamat Lana.
Sepulang sekolah ia bergegas ke rumah Lana.
Sepulang sekolah ia bergegas ke rumah Lana.
*
Rio mencari rumah
Lana sesuai alamat yang ia dapat.
Sampai depan rumah Lana ia disambut oleh pembantu Lana.
Sampai depan rumah Lana ia disambut oleh pembantu Lana.
"Maaf cari siapa ya den?"
"Saya teman Sekolah Lana bu, saya mau cari
Lana" ucap Rio.
"Maaf den, tidak ada yang namanya Lana
disini"
Rio berpikir
sebentar lalu ia teringat nama lengkap Lana yang tadi ia dapat.
"Kalau Deylana ada?"
Pembantu Lana merasa ragu. Kemudian Siska keluar.
"Kamu siapa?" tanya Siska dengan dingin.
"Saya teman sekolahnya tante" jawab Rio dengan sopan.
"Ana tidak punya temannya disekolah. Jadi kamu
jangan bohong?" Siska menatap Rio dengan
sinis.
Rio terdiam. Apa
yang dikatakan Siska memang benar.
"Siapa ma?" Lana baru saja keluar dari
kamar dan mendengar suara mamanya memarahi seseorang.
"Bukan siap..."
"Rio, Lana" Rio
berteriak memotong perkataan ibu Lana agar Lana tahu dia datang.
Lana bingung untuk apa Rio
datang. Menuduh masalah Rico kah?
"Ada
perlu apa?" Tanya Lana dingin.
"Eh... Gue mau tanya sesuatu". Jawab Rio
kikuk.
"Kalo lo mau tanya soal temen lo, gue udah
kasih keterangan jelas sama polisi lewat telepon. Nyokap gue juga udah jelasin
tentang alibi gue"
Rio meringis,
merasa bersalah. Tadi ia menuduh Lana.
"Gue percaya sama lo Lan" Rio mengucapkan dengan percaya diri, walau dalam hatinya
ia belum sepenuhnya percaya. Tapi ia penasaran dengan apa yang terjadi pada
sahabatnya.
"Ga usah bohong deh lo" Lana menatapnya
nanar.
"Gue percaya. Serius. Gue justru mau minta
bantuan lo. Boleh gue ngomong berdua ama lo?" Rio
merasa terintimidasi dengan aura ibu Lana yang sedari tadi menatapnya dengan
tajam.
Lana menoleh pada ibunya dan memberikan satu kali
anggukan. Tapi siska masih tidak bergerak. Akhirnya Lana berbicara pada ibunya
"gapapa ma. Lana baik-baik aja"
Ibuna menghembuskan napas pasrah. "10 menit
waktu yang kamu punya. Manfaatkan dengan baik, kalau dalam 10 menit ana tidak
kembali, kamu yang akan aku cari".
Siska dan pembantunya meninggalkan mereka,
sedangkan Lana mengajak Rio untuk berbicara di
taman.
"Apa mau lo?" Tanya Lana to the point.
"Gue tanya lo, sewaktu lo ngeliat apa yang lo
liat itu, apa lo liat siapa pembunuhnya?"
Tanya rio dengan raut muka serius.
Tanya rio dengan raut muka serius.
"Engga".
"Serius lan. Coba lo inget-inget lagi".
Seumur-umur Rio belum perna memohon seperti
ini.
"Gue ga mau inget. Lo ga tau rasanya inget
hal-hal begitu" bentak Lana.
Rio merasa
frustasi. Siapa lagi yang bisa membantu memecahkan masalahnya?
Bahkan polisi saja tidak bisa memecahkannya. Polisi menganggap bahwa ini kasus bunuh diri sehingga tidak perlu ditindak lanjuti. Rio tahu kalau Rico tidak mungkin bunuh diri, ditambah kata-kata Lana tempo hari.
Bahkan polisi saja tidak bisa memecahkannya. Polisi menganggap bahwa ini kasus bunuh diri sehingga tidak perlu ditindak lanjuti. Rio tahu kalau Rico tidak mungkin bunuh diri, ditambah kata-kata Lana tempo hari.
"Gue mohon sama lo Lana, gue ga pernah memohon
sebelumnya, dan kali ini untuk pertama kalinya gue mohon sama lo"
"Apa untungnya bagi gue?"
Rio tersenyum
sinis, "Gue pikir lo orang baik, ternyata lo tetep pamrih ya"
"Lo pikir gue bakal berbuat baik setelah apa
yang dia lakuin sama gue dikantin waktu itu? Gue ga bodoh".
Tiba-tiba Lana mendapat ide.
"Gue ga tau siapa pembunuhnya, tapi gue ada liat ciri-cirinya sekilas. Dia punya tato. Cuma itu yang gue inget".
"Gue ga tau siapa pembunuhnya, tapi gue ada liat ciri-cirinya sekilas. Dia punya tato. Cuma itu yang gue inget".
Rio menaikkan
alisnya sebelah. "Balasannya?"
Lana tersenyum menatap Rio.
"Gue ga butuh senyum lo Lan, senyum lo tu
nyeremin tau ga" Rio memalingkan mukanya.
Tiba-tiba ia merasa malu melihat senyum Lana. Lana cantik. Tapi karena
'kemampuannya' ia jadi menyeramkan.
"Gue punya satu syarat. Selama pembunuhnya
belum ketemu, lo harus ikutin permintaan gue"
"What??? Lo mau gue jadi babu lo?"
Rio berteriak marah.
Rio berteriak marah.
"Bukan. Bukan babu. Gue mau sekali aja
ngerasain jadi cewek normal dan gue tahu lo bisa bantuin gue buat ngewujudin
itu"
Rio jadi teringat
kejadian waktu itu. "Maksud lo?"
"Gue ga ngerasa apapun saat nyentuh lo, gue ga
tahu kenapa. Jadi gue mau lo nemenin gue ke tempat-tempat yang selama ini gue
ga bisa datengin".
"Apa itu cuma gue?"
Lana mengangguk.
"Tapi kan
walopun ada gue, lo tetep sentuhan sama orang lain"
"Gue ga tahu, tapi gue yakin saat gue pegang
lo gini" Lana menarik tangan Rio dan
menggenggamnya, kemudian melanjutkan "gue ga akan liat apapun walopun gue
sentuhan sama orang lain. "
Rio langsung
menarik tangannya. "Lo yakin ga liat apa-apa tentang gue?" Rio menatapnya takut.
Lana mengangguk lagi.
"Kenapa? Apa yang salah sama gue?"
Lana menggeleng. "Lo mau bukti?"
Lana menarik Rio
mencari 'sample'. Kemudian ia menemukan abang bakso didekat sana.
Dalam keadaan bergandengan, Lana menepuk bahu abang bakso itu. Abang bakso itu menoleh "ada apa neng? Mau bakso?"
Dalam keadaan bergandengan, Lana menepuk bahu abang bakso itu. Abang bakso itu menoleh "ada apa neng? Mau bakso?"
"Engga bang, aku kira abang tadi temen dia,
dia lagi cari temennya yang ilang bang. Mirip abang gini orangnya". Lana
menyeringai.
Rio melotot ke
Lana. Lalu menarik Lana menjauh dari abang bakso tadi. Setelah dirasa jauh, Rio melepas pegangan tangan mereka.
"Lo apa-apaan sih ngomong gitu. Buat malu aja
tau ga?"
Lana hanya tersenyum. Ia senang sekali ternyata
teorinya benar. Ia tidak sabar ingin merasakan apa yang selama ini tidak bisa
ia rasakan.
"Jadi gimana? Gue udah buktiin tadi. Gue ga
liat apapun. Penawaran gue?"
Rio berpikir
sebentar. "Cuma nemenin lo doang kan?"
Lana mengangguk.
"Deal"
"Deal"
Mereka berjabat tangan.
Rio tidak tahu ini
keputusan yang benar atau salah, tapi satu hal yang ia tahu, ia harus mencari
tahu pembunuh temannya dan apa motifnya.
Masalah menemai? Toh ia single.
Masalah menemai? Toh ia single.
*
Mereka berdua memutuskan untuk berdiskusi di ruang
tamu rumah Lana karena Rio harus memulangkan
Lana mengingat janjinya pada ibu Lana tadi.
"So, apa yang lo liat?" Rio
membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Sebentar".
Lana mengambil selembar kertas dan sebuah pena lalu menggambar sesuatu.
Lana mengambil selembar kertas dan sebuah pena lalu menggambar sesuatu.
15 menit sudah berlalu, namun Lana belum selesai
menggambar.
Rio yang sedari
tadi hanya diam saja, merasa bosan. "Sudah belom? Lama amat sih"
"Udah". Lana memberikan hasil gambarannya
pada Rio.
Rio terkagum
sesaat melihat hasil gambaran Lana, namun ia teringat tujuannya.
"Jadi ini bentuh tato nya?"
"Jadi ini bentuh tato nya?"
"Ya"
"Letaknya?"
"Di punggung tangan kanan, tangan yang ia
gunakan untuk membunuh. "
"Gue bakal serahin ini ke Polisi"
"Polisi ga bakal percaya sama cerita lo Rio. Coba gue tanya, gimana caranya lo jelasin tentang
gambar ini?"
Rio terdiam. Benar
yang dikatakan Lana, tidak mungkin ia bilang bahwa ini gambar hasil pemikiran
Lana. Yang ada polisi malah mengira ia dan Lana orang gila. Cukup Lana saja
yang dianggap seperti itu, ia tidak mau ikut-ikutan.
*
Setibanya di rumah, Rio
memikirkan kembali kejadian yang baru-baru ini terjadi. Rio
berpikir, kenapa gue percaya pada kata-kata dia? Bukannya selama ini gue ga
percaya yang begituan?
Rio berpikir
otaknya sudah sama kacaunya dengan Lana. Tapi kalau memang Lana bisa membantu
menyelesaikan masalah ini, kenapa tidak?
Rio bertekad
membawa hasil gambar Lana pada detektif keluarganya.
*
Keesokan harinya, Lana memutuskan untuk masuk
sekolah.
Ia mengambil kembali keberanian yang dulu pernah ia rasakan.
Sesampainya di sekolah, seluruh murid menatapnya dengan tatapan tajam.
Ia mengambil kembali keberanian yang dulu pernah ia rasakan.
Sesampainya di sekolah, seluruh murid menatapnya dengan tatapan tajam.
Lana berusaha untuk tidak peduli, ia tetap berjalan
menuju kelasnya.
Sepanjang perjalanan, ia mendengar semua orang berbisik-bisik bahwa ia adalah seorang pembunuh.
Sepanjang perjalanan, ia mendengar semua orang berbisik-bisik bahwa ia adalah seorang pembunuh.
Baru saja ia duduk di bangku nya, seorang wanita
datang menghampiri dan memukul mejanya.
"Lo cewek sialan! Lo itu pembunuh ga pantes
buat sekolah disini"
Lana menatapnya heran dan menjawab "apa
buktinya?"
"Lo sengaja kan ngomong gitu ke cowok gue dan gara-gara
omongan lo, dia jadi stress dan bunuh diri!"
"Gue rasa Rico bukan cowok bego yang bisa
stress cuma karna omongan gue"
"Gue ingetin ya sama lo, selama lo sekolah
disini, gue.. Fina ga akan pernah biarin lo idup tenang!"
Kemudian Fina pergi meninggalkan kelas Lana. Rio yang sedari tadi berdiri di pintu kelas melihat semua
kejadian itu hanya bisa diam saja, ia tidak ingin ikut campur lebih lanjut.
*
Sepulang sekolah Lana dan Rio menemui detektif
keluarga Rio. Mereka bertemu di salah satu
cafe dekat sekolah. Detektif itu bernama Petrus.
"Lana, kenalin ini pak petrus. Detektif
keluarga gue"
Pak petrus mengangkat tangannya untuk mengajak Lana
bersalaman, akan tetapi Lana hanya menunduk saja.
"Saya Deylana, bapak bisa panggil Lana
aja".
Melihat hal tersebut, Rio
terpaksa menyentuh bahu Lana. Lana tersentak kemudian mengerti kode yang
diberikan Rio lalu menyambut tangan Pak petrus
tadi.
"Jadi, saya sudah menerima contoh gambar tato
ini, kalau boleh tau, dari mana ini berasal?" Pak petrus memulai
pembicaraannya.
"Kalau saya ceritakan asalnya mungkin bapak
akan terkejut dan tidak percaya, jadi saya minta bapak untuk mengecek terlebih
dahulu apakah tato ini bisa dijadikan petunjuk. Setelah itu baru akan saya
jelaskan dari mana asalnya" jawab Rio
dengan sopan.
"Saya sudah mengecek hasilnya. Tato ini milik
Geng motor Scorpion. Geng motor terkenal di Jakarta. Anggota mereka sudah banyak keluar
masuk penjara. Tapi untuk pimpinannya polisi belum menemukan celah untuk
menangkap" jelas Pak Petrus.
"Coba bapak cek apakah salah satu anggota
mereka ada yang memiliki luka bakar di pipi kanannya" celetuk Lana.
Rio dan Pak Petrus
memandanginya dengan heran.
"Tolong bapak cek lebih jauh apa hubungan geng
ini dengan Rico dan dengan siapa dia berhubungan sesuai ciri- ciri ini. Rico
memang anak motor, tapi setahu saya mereka tidak pernah terlibat satu sama
lain" ujar Rio.
"Baiklah. Akan aku coba cari tahu. Tapi kalau
boleh tahu, dari mana mbak bisa tahu luka bakar itu?" Pak Petrus bertanya
dengan curiga.
"Akan kami jelaskan bersama dengan asal gambar
ini. Bapak tidak perlu khawatir, cukup cari tahu saja". Tegas Rio.
"Baik. Bila sudah kudapatkan akan aku
kabari"
Lalu pak petrus pamit pergi meninggalkan Lana dan Rio berdua.
"Kapan lo inget soal luka bakar itu?"
Tanya Rio penasaran.
"Gue inget waktu gue dilabrak sama pacarnya
Rico, Fina"
"Harusnya lo inget lebih awal. Ada lagi kira-kira yang lo
belom inget?"
"Ga ada. Itu doang. Gue mau nagih syarat
gue"
Rio menaikkan
alisnya sebelah "apa?"
"Gue mau nagih syarat gue" ulang Lana.
"Iya gue tahu, lo mau apa?" Rio memutar bola matanya.
"Gue mau ke dufan!" Pekik Lana
kegirangan.
"Ssttt... Lo jangan bikin malu. Ga ada orang
segede lo ke dufan seneng banget" bisik Rio.
"Ups..sorry. Gue kelepasan. Abisnya gue seneng
banget. Lo tau karna 'kemampuan' gue ini, gue ga bisa kemana-mana" Lana
menatap minumannya dengan sendu.
"Kapan?"
"Besok" Lana tersenyum memamerkan sederet
giginya.
"Oke. Besok sabtu gue jemput. Lo siap jam 10
pagi"
"Oke bos".
*
Jam 10 pagi Rio
benar-benar datang. Lana sempat berpikir Rio tidak akan datang mengingat
sebelumnya Rio sempat takut padanya.
Lana memakai celana pendek dan kaus biasa.
Rambutnya ia kuncir keatas.
Rio tidak pernah
melihat Lana berpakaian selain seragam sekolah, ia sempat terdiam sesaat.
"Ayo! Gue udah ga sabar nih".
"Ana, kamu yakin nak?" Ibunya menatap
Lana khawatir dan melihat Rio dengan ekspresi
meneliti.
"Yakin ma, Lana gapapa. Ini ada Rio kok".
"Iya tante, aku bakal jagain Lana"
Siska hanya bisa pasrah. "Yasudah. Kamu harus
membawa ana pulang dalam keadaan utuh, ngerti?" Ucap siska pada Rio.
"Iya tante".
*
"Huaaaa... Dufan!!" Lana mengangkat kedua
tangannya keatas.
Rio hanya bisa
menggelengkan kepalanya. Nih anak emang ga pernah keluar ya. Ga nyangka
begini banget tingkahnya.
"Yok kita main semuanya!" Ucap Lana
dengan semangat. Kemudian menarik tangan Rio.
"Semuanya? Lo yakin?"
"Yakin. Kenapa? Lo takut?" Tantang Lana.
"Enggak! Hayo".
Mereka berdua menaiki wahana-wahana yang ada satu
persatu. Bagi Lana perasaan ini tidak akan didapatnya lagi, jadi ia akan
memanfaatkan sebaik mungkin. Ia bahkan berlari kesana kemari.
Rio tertawa
melihat semangat Lana seperti anak kecil yang baru pertama kali diajak ke
dufan, ia bahkan pasrah saja ketika Lana menariknya kesana kemari.
Saat sore tiba, mereka menaiki wahana terakhir,
bianglala.
"Gue udah lama pengen banget naik ini. Akan
lebih baik lagi kalau gue bisa dateng bareng pasangan gue." Ucap Lana
dengan sendu ketika mereka sudah di dalam bianglala sambil menatap pemandangan
sore.
Melihat hal itu, Rio
hanya bisa menatap Lana dengan iba. Rio menatap lama wajah Lana, menurut Rio,
Lana adalah seorang gadis yang cantik, bahkan tanpa perlu polesan diwajahnya
dan baju yang biasa saja, dia tetap terlihat cantik, terutama matanya. Beberapa
kali Rio terpesona dengan cara menatap Lana.
Gue pikir lo ga seburuk yang gue kira Lan.
Gue pikir lo ga seburuk yang gue kira Lan.
Merasa diperhatikan, Lana menoleh. "Udah deh.
Ga usah natap gue kasian gitu. Gue udah biasa kok. Lebih tepatnya pasrah".
"Gue ga kasian sama lo".
"Trus apa maksudnya pandangan lo itu?"
"Lo itu cantik kok. Suatu saat pasti ada yang
bisa nerima 'bakat' lo itu". Ucap Rio tulus.
"Oh jadi sekarang nyebutnya udah bakat bukan
lagi kutukan nih" goda Lana.
Rio hanya
tersenyum. Melihat senyuman Rio, Lana ikut
tersenyum.
"Lo juga baek kok. " ucap Lana membalas
pujian Rio tadi.
"Gue emang baek dan selalu baek".
"Yah baru dipuji dah terbang dia" Lana
menggerutu sambil kembali menikmati pemandangan sore dari bianglala.
Setelah selesai, Lana turun dengan perasaan senang.
Tapi ia belum mau pulang.
Rio tahu maksud dari ekspresi Lana, maka dari itu ia ingin mengajak Lana ke suatu tempat. Entah setan apa yang merasuki Rio hingga ia jadi ingin membuat Lana senang.
Rio tahu maksud dari ekspresi Lana, maka dari itu ia ingin mengajak Lana ke suatu tempat. Entah setan apa yang merasuki Rio hingga ia jadi ingin membuat Lana senang.
"Gue ada yang lebih menarik dari ini. Gue ajak
lo kesana. Mumpung masih sore"
"Eh?" Lana menatap Rio
bingung.
Rio menarik Lana
untuk keluar dari dufan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar